*
*
*
*
*
*
*

28.10.05


Bulan sabit diapit sepasang awan di langit....Dari balik jendela aku menyaksikan kunang-kunang meliuk di atas setangkai kembang. Malam melempar pesan dengan jemarinya yang dingin. Sebuah musim telah menandai setiap perubahan yang diawali dengan pergantian matahari dan rembulan. Waktu terus berputar dalam rotasinya mengelilingi lingkaran tata surya yang sengaja diciptakan untuk menandai setiap pertemuan dan perpisahan. Tetapi akhirnya akan kembali lagi setelah semuanya berjalan dalam petualangan yang indah, menyeberangi siang menyeberangi malam.
Sesekali waktu aku ingin menjelma menjadi kunang-kunang. Sebagaimana aku juga pernah ingin menjelma menjadi kupu-kupu. Lalu kita akan membuat sebuah dunia yang hanya ada di malam hari. Kau sebagai setangkai kembang yang mekar saat bintang-bintang merayakan keindahan alam yang ditandai dengan hembusan angin yang dingin. Selepas senja mengelupaskan warnanya di balik reruntuhan cahaya matahari yang pelan-pelan menyinari belahan bumi yang lain. Dan aku akan menyinari kesendirianmu yang paling sendiri. Maka dunia kita akan menjadi dunia yang paling romantis dari segala dunia yang pernah ada.
Kemudian aku hanya mencium semerbak wewangi sambil menyaksikan kuncupmu mulai mekar perlahan-lahan. Sebab cahayaku hanya cukup untuk menyinari kelopakmu saja.
Biarkanlah kembang-kembang yang lain menemukan cahayanya sendiri. Dan malam penantian itu menjadi suatu malam yang tiada tergantikan. Sepasang sayapku akan mendendangnya irama mengiringi sajak-sajak yang kunyanyikan seperti sebuah tembang sepanjang malam.
Kupandangi wajahnya yang sesejuk embun sedingin batu gunung. Lentik bulu matanya kembali memantik api yang menyala di celah-celah jantungku. Aku ingin mengarungi lautan luas untuk mencapai persinggahan terakhirku. Maka kubiarkan ombak menyampaikan salam dunia pada menara usiaku. Perempuan itu diam. Aku juga diam. Tak ada lagi percakapan tak ada lagi cerita. Kami berdua hening dalam perenungan yang dingin.

26.10.05

Jingga




Dengan seberkas daun kering, kumaknai luka tanpa air mata.Tapi aku lelaki gunung yang sering merenung di taman yang dirubung ilalang dan rerumputan. Di gunung aku telah tumbuh seperti burung yang menciptakan sarang kebebasan dari dahan dan daun-daun. Berkicau setiap melihat kesetiaan matahari pada pagi, saat muncul dari balik rerimbun pohon-pohon yang telah ditumbuhi kabut. Dengan bahasa lelaki, aku mengepakkan sayap-sayap kecilku di sepanjang lereng yang gersang. Sebab langit senja selalu melukisnya dengan cahayanya yang jingga. Maka aku pun menjadi lelaki petualang. Sampai suatu ketika aku merindukan persinggahan terakhir di rembang usia.
Perempuan bermata embun itu terus menatapku. Lentik bulu matanya seperti ingin memantik api yang terus menyala di keremangan petang. Aku masih terdiam, sambil mempelajari setiap gerak bintang yang menebarkan cahayanya di atas langit-langit kamar. Sementara sebagian wajahnya masih bersembunyi di jendela. Di antara ribuan bintang yang berserakan, aku masih bisa menyaksikan aura kelembutan yang menggulung seperti ombak di pantai. Namun setiap saat mungkin juga akan menjadi badai.
"Kamu lelaki gunung, petualang yang kutemui tergeletak di atas rimbunan dedaunan. Apakah kamu akan selalu menjadi pencerita yang setiap tengah malam mengirimiku sajak-sajak cinta?" Katamu padaku.
Namun aku hanya terdiam membisu.

Aku selalu tersesat di rimba cerita. Sebuah rimba yang membuat hidupku begitu bergairah untuk sekadar mengatakan gelisah. Ughh.., setiap pagi subuh selalu saja ada sentuhan dingin yang mengurai percikan makna dari mimpi-mimpi yang kuciptakan tadi malam. Lalu sepasang bintang dan sepasang bulan yang kau kirim sebagai pengganti sajak-sajak cintaku mulai tumbuh menjadi sepasang sayap yang akan mengajariku terbang. Sungguh indah bukan? Terbang di rimba cerita dengan sepasang sayap yang terus menyala. Lalu aku akan merangkai irama dari setiap kepakan sayap itu menjadi sajak-sajak cinta baru, yang akan kukirimkan kembali kepadamu agar aku terus mendapat cahaya untuk membawaku terbang.
Kemudian hujan semakin menderas. Namun percakapan belum berhenti. Sesekali dia menebarkan senyuman dari wajahnya yang letih karena selama berjam-jam tidak beranjak dari tempatnya. Aku merenung sejenak dan berusaha mengingat-ingat setiap kejadian yang kulalui ketika menjelajahi gunung-gunung dan sungai sampai ke lembah-lembah. Aku lelaki petualang yang ingin singgah dan membangun sarang abadi di rimba terakhir yang kutemui. Dia seperti membaca pikiranku.
Mungkin kita adalah sepasang kupu-kupu yang sedang belajar merangkai wanginya kembang. Dan aku mulai mengulang penggalan sajak yang pernah kuselipkan di antara lembaran mimpinya beberapa malam silam.
Kemudian perempuan itu berlalu setelah meninggalkan sepasang bintang dan sebuah rembulan, menjelang tengah malam. Sejenak aku melupakan kamar tempat persembunyianku yang pengap. Apakah sebagai lelaki petualang aku akan seteguh batu karang? Sebagaimana nenek moyangku yang setegar gunung-gunung? Ah, aku begitu menyukai lautan terutama yang luas dan lepas. Hanya ada lengkung langit sebagai pembatas. Hanya ada warna pelangi sebagai penghias.
Laut telah mengajarkanku banyak hal. Sejak empat tahun silam ketika aku pertama kali mengenal gemuruh gelombang di lautan lepas. Hamparan pasir putih yang memanjang di pantai yang sebagiannya dialiri sungai-sungai. Tapi untuk bertualang aku tidak memerlukan ombak, aku tidak memerlukan angin, aku tidak memerlukan gelombang lautan yang tinggi di mana para petualang dari berbagai penjuru bumi biasa terbang di atas buih memutih bagaikan dewa-dewa laut yang muncul tiba-tiba dari dasar samudera.
Tuhan telah menciptakan bumi ini. Dan dari sanalah aku belajar bahwa kelembutan dan ketegaran sama-sama mampu menjadi sumber kekuatan. Lalu mungkinkah aku menggabungkan sepasang kekuatan dalam petualanganku menuju persinggahan terakhir? Aku sebenarnya masih ingin bercakap-cakap lebih jauh. Namun kamu telah pulang ke balik singgasana malam. Dan aku kembali sendiri dalam kesunyian. Sebuah sajak dengan sepasang sayap yang bercahaya selesai kutulis, saat malam menunjukkan keteguhannya. Mungkin Esok cahaya akan kembali datang bersama guratan cintamu, dan aku akan senantiasa setia menunggumu di sini, di kembang tidurku.
***

25.10.05

Baiknya kau dan aku merenung,
betapa hidup dan cinta tlah mentautkan kita dalam sebuah ikatan suci..
setahun yang lalu...
aku menemukanmu diantara belantara kehidupan..
tetkala itu kau sedang tertatih-tatih, dengan sekuntum bunga mawar yang telah lusuh,
dengan luka yang meninggalkan bercak-bercak darah yang telah kering...
serta kau tunjukkan hatimu yang telah menjadi puing-puing, dan memberikannya padaku.
Aku terdiam...
Ketika itu ingin sekali aku mendekapmu, berharap kau mau membagi sedikit duka yang kau rasakan, berharap kau meletakkan beban yang menghimpitmu di atas bahuku, namun apalah aku, aku hanya memiliki pembalut dan obat merah...
Ingin kubasuh setiap luka yang ada di hatimu...ingin kusiram bunga mawarmu agar kembali harum dan mewangi
meski aku tahu...takkan mungkin kubisa mengembalikan dirimu seperti sediakala,
namun aku yakin,
aku bisa menerima setiap bekas luka yang ada dengan lapang dada.

Kini semua itu berlalu..
yang ada sekarang tinggal puing-puing..dan itu adalah milikku !!!
Betapa naifnya aku telah mengabaikanmu, sampai saat ini.
Telah kubuat jurang pemisah diantara kita, telah kutancapkan duri mawar yang selalu kusiram dengan penuh kasih sayang, tepat dihatimu !!!
Hanya satu kata yang mampu terucap,
maafkan aku.

Sampai saat ini...
jemari sang waktu masih saja mencatat kerisauan hati,
Dan aku tahu...
detik demi detik yang terlewati,
hanya ada satu rasa...
.....Aku merindukanmu.

23.10.05

Seandainya Bisa....

Seandainya bisa...
dalam ruang kosongmu kutemukan kedamaian, maka akan sedikit
tersisa lara yang menghimpit dada..
meski kau bersembunyi dalam perang batinmu..
kau diam..
kau terhanyut dalam nuansa malam yang dingin
namun kau tetap pengecut...
menyembunyikan namamu di balik ruang kosongmu !!!
Sendainya bisa...
kutemukan engkau dalam khayalku...
maka takkan pernah ada ruang kosong diantara kita.
Dalam sendiriku,
kucoba menapaki ruang kosongmu, meski susah,
aku takkan pernah manangisi kegelapan yang tercipta....
karenamu.

2.10.05

Siapakah ???

Telah cukup lama aku berhenti menulis...entah, karena tak ada lagi yang aku pikirkan, atau aku bingung dengan apa yang akan kutuangkan di sini....
Sedang jauh di lubuk hatiku...masih tersimpan sebuah rasa yang pernah singgah, yang terkadang hadir diantara bayang-bayang malam yang sunyi.
Masih teringat jelas...kala itu hujan rintik-rintik, sore itu. Kau memakai gaun merah berenda putih...dan sedang berteduh dalam payung jinggamu,...memberikan senyum terindahmu saat menyambut kehadiranku. Kau genggam tanganku dengan erat, dan sesekali kau menyeka tetes air hujan yang merayap dikeningku...saat itu, tak terucap sepatah kata diantara kita, namun aku mendengar bahasa kasih yang terpancar dalam bening matamu.
Kita bergandengan tangan..melintasi jalan-jalan yang sepi, dan hanya ada seorang anak kecil yang melambaikan tangannya ketika melihat kita. Kau pun membalasnya dengan senyuman kecilmu.
Di jembatan kecil itu kita berpisah, dan kita saling berjanji untuk bertemu kembali esok pagi.
Telah lama aku di sini..menekuni lembar demi lembar kenangan yang pernah tercipta di antara kita. Hanya ****an yang kini ada. Kau ada, namun tiada.

AKU INGIN
 



Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
 
 


Sebuah Persembahan Dari Sapardi Djoko Damono, Sebagai sumber Segala Inspirasi Dari Cinta dan Kasih Sayang

 
 


 
 



 

1
Website Design - Dos & Donts of Custom website design.
Website Design